ELLACOFFEEMALL — Selain metode rukyatul hilal (pengamatan), metode hisab juga digunakan untuk menentukan awal Ramadan. Semuanya sesuai dengan standar ilmiah, tetapi apa yang membedakan keduanya?Melakukan rukyatul hilal adalah melihat ketampakan hilal atau bulan sabit saat Matahari terbenam pada awal bulan Hijriah.
Namun, hisab dapat didefinisikan sebagai perhitungan matematis dan astronomis untuk mengetahui di mana Bulan berada saat dimulainya bulan Hijriah.
Oleh karena itu, pendekatan mana yang lebih akurat? Hisab atau rukyatul hilal? Profesor Dr. Thomas Djamaluddin, MSc, ahli astronomi dan astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa dengan kedudukan rukyat dan hisab yang sama, keduanya dapat berfungsi sama baiknya.
Beberapa waktu lalu, dia menulis di akun Instagram @pussainsa_lapan, “Tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan juga bisa dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat.”
Disebutkan Prof Djamal, baik rukyatul hilal maupun hisab, sesungguhnya sifatnya menduga-duga. Jadi, tidak ada yang pasti dan masing-masing memiliki kekuatan serta kelemahan.
“Rukyat pada prinsipnya kita melihat. Tapi pada kenyataannya (hilal) sangat tipis dan bisa jadi ada cahaya lain. Yakin tidak? Makanya perukyat itu akan disumpah yakin tidak yang dilihat hilal?” urainya.
Demikian juga dengan metode hisab. Menurut angka perhitungannya memang akurat, tapi untuk menentukan apakah sudah masuk tanggal awal bulan baru atau belum, harus menggunakan kriteria.
Bukan Penyebab Perbedaan
Dalam penetapan awal bulan Ramadan atau Idul Fitri di Indonesia kerap kali kita menemukan perbedaan. Prof. Djamal selalu mengingatkan bahwa hal ini bukan karena hisab dan rukyat, karena seperti sudah disebutkan, prinsip perhitungan antara hisab dan rukyat hilal, secara astronomi, adalah sesuatu yang saling melengkapi.
“Secara umum, perbedaan itu banyak faktor. Tapi akar masalahnya karena perbedaan kriteria,” kata Prof Djamal.
Contohnya adalah Idul Fitri pada tahun 1998. karena hisab dan rukyat tidak menyebabkan perbedaan di masyarakat Indonesia. Pada tahun itu, ketika ketinggian bulan kurang dari satu derajat, Nahdlatul Ulama (NU) membahas sesama ahli rukyat.
Di Pengurus Besar (PB) NU ada yang menolak kesaksian itu karena bulan terlalu rendah. Tapi, di NU Jatim bisa diterima. Jadi, sesama ahli rukyat dalam memahami rukyat yang sama pun berbeda. Perbedaan itu memang terjadi karena persoalan mendefinisikan kriteria hilal.
Sesama ahli hisab di Muhammadiyah dan Persis pun sama. Mereka berbeda penetapannya karena kriteria. Muhammadiyah mendasarkan pada asal sudah berwujud atau ketinggian di atas nol derajat sudah bisa masuk awal Ramadan. Tapi, Persis, mendasarkan kriteria kemungkinan bisa dirukyat. Jadi, kalau belum terlihat, belum bisa dirukyat.
Maka, pada 1998, di kalangan NU lebarannya pun ada perbedaan. Begitu juga dengan Muhammadiyah saat itu berlebaran 29 Januari dan Persis 30 Januari.
Di sisi lain, kasus 1998 menjadi contoh nyata bahwa permasalahan perbedaan awal puasa dan Idul Fitri bukan karena hisab dan rukyat, tapi kriteria dan menjadi titik terang untuk menyatukan perbedaan tersebut.
“Pemerintah mengupayakan ada satu sistem tunggal sehingga keterbukaan semua pihak bisa membuat satu kalender yang mapan: ada otoritas tunggal, kriteria tunggal, dan batas tanggal yang disepakati,” kata Prof Djamal.
Menurutnya, kriteria pada dasarnya sesuatu yang berdasarkan ijtihad dan bisa diangkat untuk mempersatukan. Dia berharap kriteria yang baru akan membuka jalan untuk mencapai penetapan kriteria tunggal tersebut yang akan dijadikan rujukan semua pihak dan mempersatukan umat.
SUMBER DETIK.COM : Apa Itu Hilal dan Hisab? Dua Metode Penentuan Awal Ramadan di Indonesia